Sinopsis Kuantar ke
Gerbang
"Ini tentang pengalamanku dengannya, dengan seseorang yang mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang sebenarnya kita cita-citakan bersama, yakni kemerdekaan bagi bangsa kita. Dibalik itu, ia pun adalah seorang yang sangat penuh romantika. Aku mengikutinya, melayaninya, mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya , meluluhkan keinginan-keinginannya,.
Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang
apa yang jadi cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada
sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya
seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya"
(Inggit
Ganarsih, Kuantar ke Gerbang hlm 2)
Dibanding istri-istri
Soekarno, Inggit Ganarsih termasuk istri yang kurang dikenal.
Masyarakat umumnya lebih mengenal Fatmawati, atau Dewi Soekarno
dibanding Inggit Ganarsih. Tak banyak memang yang menulis tentang Inggit
Ganarsih, dalam buku teks sejarah-sejarah resmi namanya ditulis selewat saja.
Karenanya kita patut bersyukur karena penggalan kehidupan Inggit Ganarsih
ketika masih bersama Bung Karno sempat dituliskan oleh Ramadhan KH dalam novel
“Kuantar ke Gerbang” (Kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)
Dalam
novel ini kita akan mendapatkan kisah kehidupan seorang wanita Sunda yang
menjadi pendamping Bung Karno saat ia menimba ilmu di ITB Bandung sambil
merintis jalannya di bidang politik, masa-masa sulit ketika Bung Karno
dipenjara dan diasingkan, hingga kepindahannya ke jalan Pegangsaan Timur
56, Jakarta beberapa bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh bung
Karno.
Dalam
hal menjalin kehidupan rumah tangga, walau usia Inggit lebih tua 13 tahun
ketika menikah dengan Bung Karno namun Inggit mampu menjadi seorang pendamping
yang sepadan bagi Bung Karno. Perbedaan usia yang mencolok ini malah menjadi
keuntungan bagi Bung Karno karena baginya Inggit bukan hanya sekedar kekasih
dan istri, namun sekaligus ibu yang mengemong dan membimbingnya.
Inggit
adalah wanita sederhana, ia tak bisa membaca dan menulis, namun dalam
kesederhanaan dan keterbatasannya itulah Inggit mampu membuat Soekarno muda
bertumbuh menjadi seorang pejuang yang tangguh. Ketika bersama Inggitlah Bung
Karno merintis jalan politiknya, di Bandung ia mendirikan Partai Nasional
Indonesia dan menjadi singa podium yang berjuang untuk kemerdekan Indonesia. Di
masa ini Inggit memang tidak menjadi partnernya yang bisa diajak berdiskusi
masalah pergerakan namun dengan ketulusan cintanya Inggit memberikan kasih
sayang dan dorongan moril baginya, sesuatu yang tidak bisa diperoleh Bung Karno
di arena gelanggang politiknya.
Jika
Bung Karno diibaratkan nyala api, maka Inggit Ganarsih adalah kayu bakarnya.
Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika
Soekarno kesepian atau membutuhkan dorongan darinya.
“Setiap kelelahan, ia memerlukan hati yang lembut,
tetapi sekaligus memerlukan dorongan lagi yang besar yang mencambuknya,
membesarkan hatinya. Istirahat, dielus, dipuaskan, diberi semangat lagi, dipuji
dan didorong lagi”
"Waktu sampai rumah aku harus menyediakan minuman asam untuk
mengembalikan suara Kusno (Bung Karno) yang sudah parau itu. Aku seduh air
jeruk atau asam kawak. Aku sendiri yang harus menidurkan kesayanganku yang
besar ini, singa panggung ini. Tak ubahnya ia dengan anak kecil yang ingin
dimanja" (hal 99)
Ketika
akhirnya Bung Karno ditangkap dan dipenjara di Banceuy Bandung, Inggit tetap
setia, Ia rajin mengunjungi dan mengirim makanan untuk suaminya di penjara.
Untuk mendapatkan uang ia membuat bedak, manjadi agen sabun cuci, membuat dan
menjual rokok hingga menjahit pakaian dan kutang.
Kegigihan Inggit untuk menafkahi keluarganya saat
bung Karno dalam penjara, membuat Bung Karno sedih karena telah melalaikan
tugasnya sebagai kepala rumah tangga, ketika hal itu disampaikan pada istrinya,
Inggit memberinya semangat.
“Tidak,
Kasep, jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati. Di rumah segala
berjalan beres….Tegakkan dirimu, Kus, tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan
luntur karena cobaan semacam ini!” (hal 159)
Saat
Bung Karno sedang menyusun naskah pembelaannya Inggit membantu mencari dan
mengirim data serta dokumen untuk referensi suaminya menyusun pembelaan
(pledoi). Inggit dengan berani menyelundupkan data dan dokumen yang
diperlukan Bung Karno ke Penjara Banceuy. Agar tak ketahuan sipir penjara ia
menyembunyikan naskah tersebut dibalik kebayanya.Jerih payah Inggit ini membuat
Bung Karno berhasil menyusun pembelaannya yang sangat terkenal, Indonesia
Menggugat, yang dibacakan di Landraad Bandung, 18 Agustus 1930.
Dengan
cerdas Inggit juga memberikan kode-kode rahasia tentang situasi diluar penjara
baik melalui telur yang dibawanya atau melalui Al Quran yang telah diberi kode
rahasia kepada suaminya, dengan demikian walau setiap kunjungan selalu diawasi
oleh sipir penjara, bung Karno tetap dapat mengetahui baik buruknya situasi
perjuangan saat itu.
Pengorbanan dan kesetiaan cinta Inggit tidak hanya
terlihat ketika Soekarno di Penjara. Masa-masa pembuangan di Ended an
Bengkulu menjadi saksi bagi ketabahan dan kesetiaannya pada Bung Karno .
Sebetulnya Inggit adalah manusia bebas yang memiliki hak untuk tidak ikut
bersama suaminya dalam pembuangan, namun cinta dan kesetiaannya pada Bung Karno
membuatnya bertekad menyertai suaminya dalam suka dan duka
“..apakah artinya aku
sebagai istrinya kalau suami dibuang dan aku tidak ikut dengannya?...aku sudah
tahu, meskirpun tidak dikatakan berapa lama kami harus hidup dalam pembuangan,
aku sudah harus siap untuk hidup disana sampai ajal” (hal 267)
Niatnya
untuk mendampingi suaminya selama di pengasingan benar-benar diwujudkannya
, di masa-masa sulit inilah Inggit menjadi peredam dan tempat berteduh
bagi jiwa Bung Karno yang kesepian dan tertekan karena perjuangannya untuk
memerdekakan bangsanya harus terhenti entah sampai kapan.
“Aku lalu mengajaknya
keluar dari kesepian. Aku harus pandai mencumbunya supaya ia bebas dari dari
tekanan –tekanan yang menimpa batinnya.” (hal 300)
Malangnya usaha Inggit untuk menghibur dan
mendampingi Bung Karno selama di pengasingan ternyata tak cukup bagi
Bung Karno. Soekarno yang saat itu berada di usia yang sedang bergelora tak
kuasa meilhat kecantikan Fatmawati, anak angkatnya sendiri yang diasuhnya
bersama Inggit di Bengkulu. Bung Karno akhirnya meminta izin pada Inggit untuk
diizinkan menikah dengan Fatmawati dengan alasan ingin memiliki keturunan.
Satu-satunya yang tak bisa diberikan Inggit pada suaminya. Bung Karno tak
berniat menceraikan Inggit, ia hanya meminta restu Inggit untuk menikah lagi
dan status Inggit menjadi istri pertamanya.
Dengan
tegas Inggit menolak untuk dimadu, ia memilih bercerai daripada harus dimadu.
“Aku orang Banjaran dari
keluarga yang pantangannya adalah dimadu dalam keadaan bagaimanapun…Sudah aku
jelaskan, kalau mau mengambil dia, ceraikanlah aku! Aku pantang dimadu!” (hal 405)
Ditengah
kegalauan hatinya ini Inggit tetap melayani Bung Karno dengan cintanya.
Ketika sekutu kalah perang dan Jepang memasuki Sumatera Inggit dan Bung
Karno harus menghadapi tantangan baru. Walau mereka diizinkan meninggalkan
Bengkulu dan diperintahkan untuk menuju Jakarta, mereka harus
melakukan perjalanan darat menuju Padang melalui hutan belantara agar terhindar
dari pasukan Jepang .
Akhirnya
selepas dari pembuangan di Bengkulu, pada tahun 1942 Bung Karno dan Inggit
resmi bercerai di Jakarta. Perceraiannya ini disertai juga dengan sejumlah
persayaratan yang dibuat dihadapan 4 Serangkai (Hatta, Ki Hajar Dewantara,
KH Mas Mansur, dan Soekarno) . Bagi Inggit yang telah menjalani bahtera rumah
tangganya bersama Bung Karno selama hampir 20 tahun lamanya ini adalah suatu
peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupnya, namun ia tak mau larut dalam
kesedihan. Cintanya yang tulus pada Bung Karno dan kepasrahannya pada jalan
hidup yang telah digariskanNYA membuat ia kuat dan mensyukuri apa yang telah
dialaminya.
“..sesungguhnya aku harus
senang pula karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah
menghantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga” (hal 415)
Demikianlah
novel ini menggambarkan dengan menarik bagaimana suka duka dan pasang surut
kisah cinta Inggit dengan Bung Karno. Novel ini ditulis dengan
menggunakan kata ganti ‘aku’ sehingga kita yang membacanya seakan langsung
mendengar penuturan langsung dari bu Inggit. Dengan demikian penulis juga
bisa secara dalam mengeksplorasi semua isi hati Inggit selama ia
mendampingi Bung Karno baik dalam suka maupun duka. Semua perasaan dan
pergolakan batin yang dirasakan Inggit terdeskripsikan dengan blak-blakan
dan apa adanya sehingga semua ungkapan cinta romantis, kemarahan, dan kegalauan
hati Inggit benar-benar dapat dirasakan pembacanya
Selain
kisah cinta Inggit dan Soekarno, novel ini juga memaparkan berbagai peristiwa,
isu-siu sejarah, dan kisah-kisah keseharian Bung Karno dari sudut pandang Ibu
Inggit antara lain soal isu bahwa Bung Karno telah berbalik haluan dan meminta
maaf serta ampun kepada pemerintah Hindia Belanda.
Di buku
ini terungkap bagaimana isu ini begitu menganggunya sampai-sampai Inggit harus
meminta konfirmasi langsung pada suaminya, sayangnya seperti yang dikisahkan
dalam novel ini Bung Karno hanya diam dan tidak memberi reaksi apa-apa, sebagai
istri yang taat dan memahami perasaaan suaminya Inggit tidak mendesak Bung
Karno untuk menjawabnya sehingga isu tersebut tetap menjadi misteri dan
pedebatan di kalangan sejarahwan hingga kini.
Selain
itu ada banyak hal-hal menarik tentang Bung Karno, baik itu pemikiran dan
strategi perjuangannya, pembelaannya di pengadilan Landraad Bandung,
pandangannya terhadap dunia Islam, kegemarannya melukis, melatih Ratna Juami,
anak angkatnya berpidato di pantai, hingga hewan peliharaannya, akan
terkisahkan di novel ini.
Kesemua
itu ditulis oleh Ramadhan KH dengan kalimat-kalimat yang sederhana namun
sarat makna seakan mampu mewakili gambaran sosok bu Inggit yang sederhana dan
cerdas. Intinya lewat novel ini kita semua akan diajak menyelami penggalan
kehidupan Ibu Inggit dan Bung Karno semenjak kuliah di Bandung hingga beberapa
saat sebelum memasuki gerbang kemerdeakaan yang dicita-citakannya.
Melalui
novel ini kita juga akan tahu bahwa Inggit yang namanya dan bukti pengabdiannya
hanya tersisa lewat seonggok bangunan yang terkepung di tengah-tengah debu dan
hiruk pikuk kaki lima serta lalu lalang kendaraan di Jalan Inggit Ganarasih
(dulu Ciateul) Nomor 18 Bandung Itu ternyata memiliki kontribusi yang besar
baik terhadap bangsa ini maupun terhadap pembentukan pribadi Bung Karno untuk
menjadi seorang pejuang yang tangguh.
Tak
berlebihan jika Prof. S.I Poeradisastra dalam kata Pengantarnya edisi pertama
novel ini yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (1981) menulis demikian
:
“Separuh dari semua
prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam
Bank Jasa Nasional Indonesia”. Inggit telah menjalankan tugasnya dengan
sempurna, lebih dari seorang istri.”
“Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua
janda Sukarno dengan segala jasa dan segala segi positifnya masing-masing,
tetapi saya harus mengatakan, bahwa hanya Inggit Garnasihlah yang merupakan
tiga dalam satu diri. Ibu, kekasih, dan kawan yang memberi tanpa menerima.
Kekurangan Inggit hanyalah karena ia tak mampu melahirkan anak bagi Sukarno”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar