Minggu, 17 Desember 2017

Keraton Ratu Boko: Kebanggaan yang Terlupakan?

Minggu, panas matahari lumayan terik kala aku bersama istriku menyusuri jalan Jogja-Solo. Jam menunjukkan pukul 10.00 WIB. Awalnya pintu masuk menuju Keraton Ratu Boko seolah tak meyakinkan. Namun rasa penasaran membuat kami tetap memarkir kuda besi di area parkir yang ditunggui oleh seorang petugas berbaju sorjan lurik berblangkon. Setelah membayar parkir dan tiket masuk seharga Rp 40.000,00 per orang, kami melanjutkan menaiki tangga menuju pintu masuk keraton.
Jumlah tangga cukup membuat kami sedikit "ngos-ngosan" hehe. Kami memang sengaja memarkir kuda besi di bawah agar bisa menikmati setiap jengkal pesona area keraton. Sampai di atas kami disambut rindangnya sebuah pohon yang di sekitarnya diberi tempat duduk untuk sekadar melepas lelah. Pukul 10.45 WIB, kami memutuskan untuk memasuki pintu menuju Keraton Ratu Boko berbekal karcis yang sudah kami peroleh. Menuju keraton di sisi kanan jalan kami sempatkan untuk mengambil gambar--berfoto dulu--hehe. Deretan tempat duduk tertata cukup rapi di sisi kanan jalan menuju keraton. Sedangkan sisi kiri kita dapat melihat daratan, Gunung Merapi dan Kota Jogja maupun Klaten. 


Saatnya melanjutkan perjalanan menuju keraton. Beberapa saat kemudian sampailah kami di pelataran jalan keraton. Beberapa gazebo kami temukan di sisi kanan jalan dan di taman kompleks keraton. Saat memasuki pelataran jalan yang telah dekat dengan keraton ada sebuah papan kecil berwarna putih dengan tulisan hitam yang berbunyi "Dilarang menginjak batu  lama". Cukup arif , sebab batu-batu itu adalah sebuah prasasti, peninggalan dari bukti sejarah yang cukup berharga. 

Setelah menapaki pelataran jalan, kami disambut oleh dua gerbang yang cukup kokoh menantang arus zaman. Gapura Keraton Ratu Boko terdiri dari dua buah bangunan berbentuk paduraksa dengan puncak bangunan berbentuk ratna sebagai pintu masuk utama.



 Setelah memasuki kedua gerbang keraton kami melanjutkan perjalanan menuju candi pembakaran dan sumur suci. Bangunan yang terbuat dari batu andesit dengan panjang bangunan 22,60 m; lebar 22,33 m; dan tinggi 3, 82 m ini dahulunya digunakan untuk upacara tawur agung , sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Di tengah bangunan ini terdapat sebuah sumur berukuran 2,30 m x 1,80 m dengan kedalaman 5 m dari permukaan tanah.




 Setelah puas menikmati Candi Pembakaran dan Sumur Suci, perjalanan kami lanjutkan menuju Paseban. Paseban, konon dahulu digunakan untuk ruang tunggu tamu yang akan menemui raja. Paseban terdiri dari 2 batur: Paseban Timur dengan panjang 24,6 m; lebar 13,3 m; dan tinggi 1,16 m, sedangkan Paseban Barat dengan panjang 24, 42 m; lebar 13,34 m; dan tinggi 0,83 m. Kondisinya memang sedikit tak beraturan. Bebatuannya tampak sudah tak lengkap.

Dari Paseban perjalanan kami lanjutkan menuju Gua. Gua di Keraton Boko terdiri dari 2 buah: Gua Lanang (laki-laki) ditandai dengan simbol lingga di pintu gua dan Gua Wadon (perempuan) ditandai dengan simbol yoni. Gua Lanang berada di atas dan di depannya terdapat seperti sumur yang sepertinya cukup dalam. sedangkan Gua Wadon berada sedikit turun dengan di pelataran batu yang cukup luas di sampingnya.




Puas menikmati aroma gua, kami melanjutkan langkah menuju Kolam. Di kompleks Keraton Boko, Kolam terdiri dari 2 bagian: KolamUtara dan Kolam Selatan. Kolam Utara terdiri dari 7 buah kolam(5 buah kolah berukuran besar dan dalam, 2 buah kolam kecil dan dangkal) berbentuk persegi panjang. Sedangkan Kolam Selatan terdiri dari 28 buah kolam (14 kolam berbentuk bundar, besar; 13 buah berukuran kecil berbentuk bundar; dan 1 buah berukuran kecil berbentuk segi empat). Kedua kolam dipisahkan oleh tembok yang ditengahnya terdapat gapura kecil. Kondisi beberapa kolam memang sudah tidak berbentuk seperti dalam keterangan di papan keterangan. Memang masih terlihat jelas kolam-kolamnya--terutama yang besar--. Saat kami melihat lebih dekat air yang terdapat dalam kolam pun sudah terlihat keruh dengan ikan-ikan gembira berenang di dalamnya.





Sedikit menurun dari area kolam kita akan menemukan kompleks Keputren. Keputren terdiri dari 2 buah batur yang terbuat dari batuan andesit. BaturS elatan mempunyai panjang 21,43 m; lebar 22,70 m; dan tinggi 1,75 m, sedangkan Batur Utara mempunyai panjang 16,40 m; lebar 14,90 m; dan tinggi 1,62 m. Melihat namanya sebagai kompleks keputren, kemungkinan bangunan ini dulu digunakan untuk tinggal para putri raja --cuma prediksi hehe--. Pemandangan yang sedikit mengganggu di area Keputren adalah adanya genangan air yang cukup luas. Entah itu ada sejak dahulu sebagai bagian dari Keputren ataukah ada setelah penemuan situs (tidak ada keterangan).



Setelah asyik berpanas-panasan di area keputren kami melanjutkan perjalanan kembali menapak naik menuju Pendopo. Pendopo ini dikelilingi pagar dari batu andesit sedangkan tubuhnya terbuat dari batu putih. Di dalam Pendopo terdapat 2 buah batur: Batur Utara yang mempunyai ukuran panjang 20,57 m; lebar 20,49m, dan tinggi 1,43 m. Sedangkan Batur Selatan berukuran panjang 20,50 m; lebar 7,04 m; dan tinggi 1,51 m. Kedua batur dihubungkan oleh selasar yang terbuat dari batu andesit. 

Inilah akhir perjalanan kami di kompleks Keraton Ratu Boko yang konon ada sangkut pautnya dengan Ratu Balqis dalam khasanah kenabian. Menikmati sejarah laksana kita sedang merenung dan "metani" kedirian. Kita seolah dibawa untuk lebih menghargai bangsa besar ini. Bahwa bangsa ini mempunyai sejarah yang cukup tua dan panjang. Tentu saja setelah menemukan kesejatian bangsa diharapkan kita akan lebih mampu mencintai bangsa yang dulu punya sebutan Nusantara ini.

Mari kita mengingat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tak lupa akan sejarahnya. Bangsa yang masyarakatnya tidak seperti "kacang lupa kulitnya". Bangsa yang orang-orang hidup di dalamnya selalu mencintai keberagaman sebagai sebuah anugerah. Bukan bangsa yang hanya mementingkan ego pribadi dan golongan. Bangsa yang saudara saklawase! Oya, jangan suka jahil mencorat-coret situs sejarah ya. Jaga kelestarian budaya dan sejarah bangsa. Salam budaya!











Rabu, 08 November 2017

Hoax yang Ganas



Menurut saya bohong sekarang ini sudah mencapai tingkat epidemik, dan kita hari ini benar-benar telah kebal terhadapnya.

(Bradlee dalam A Pack of Lies, J. A. Barnes, 2005 )

Pada Jumat yang temaram dan mendung, 27 Oktober 2017, pukul 13.12 WIB, ketika aku masih membersamai murid-murid di kelas, sebuah pesan masuk di grup Whatsapp melalui gawaiku. Pesan itu cukup panjang.

Assalamualaikum. Agar diwaspadai… Dan segera melaporkan jika ada yang mengaku dari fakultas kedokteran ingin mengukur gula darah atau pengambilan sample darah… Gratis … Segera tolak dan laporkan.
Awas Dokter Palsu
Harap kesediaan Anda untuk bantu menangkap mereka dengan cepat jika Anda menemui orang-orang yang berkunjung di depan pintu Anda dan mereka mengatakan dari Fakultas Kedokteran untuk bantu mengukur gula darah secara gratis. Segera informasikan kepada polisi karena orang-orang itu adalah orang yang ingin menghancurkan Indonesia. Mereka berkunjung Dari rumah ke rumah untuk menyebarkan virus AIDS melalui alat suntik yang mereka bawa. Kabar ini berkembang setelah warga pasuruan, jawa timur banyak yang terinfeksi virus AIDS setelah mendapat cek gula darah gratis yang mengaku dari Fakultas kedokteran. Hal yang serupa pun terjadi di daerah jogja yang ada beberapa orang yang diduga terinfeksi AIDS setelah melakukan suntik darah untuk tes gula darah yang sama dilakukan oleh yang mengaku berasal dari Fakultas Kedokteran.
Laporan warga kepada kantor kepolisianpun makin marak, Masyarakat diminta untuk lebih waspada dan segera melapor kepada aparat bila ada hal yang sama terjadi agar dapat ditangkap beserta barang bukti.
Dan ini sdh terjadi di SDN PATAS Gerokgak Buleleng tgl 26 Agust 2017 jam 09.00 wita. Tetapi para guru curiga karena dia memaksa utk mengambil darah, dg alasan mengecek darah murid2.(info dr istri Serda Made Ariawan anggota Latpur).
NB:
Bantu share

Pesan itu sedikit membuatku tertegun sejenak tapi tak sampai membuatku panik. Pesan telah viral karena banyak teman di grup whatsapp yang membagikannya. Setelah menyelesaikan pembelajaran bersama anak-anak, aku mencoba mengecek kebenaran berita itu melalui internet. Kuketikkan di mesin pencari, frasa “cek gula darah aids” maka muncullah di halaman pencari  beberapa judul tulisan yang berkenaan dengan info berita bohong itu. Kucoba membuka satu persatu laman yang ada dalam mesin pencari itu. Laman pertama yang kubuka adalah www.kabarnagari.com. Laman itu memuat bahwa kabar itu hoax (berita bohong). Hal itu diperkuat oleh pendapat dari seorang Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang, Dr. Wirsma Arif Harahap yang menegaskan bahwa info tersebut adalah hoax (berita bohong). Untuk memperkuat keyakinan saya bahwa berita tersebut merupakan berita palsu, saya kembali membuka laman www.jpnn.com. Di laman itu juga mengatakan bahwa informasi mengenai dokter yang mengecek gula darah secara gratis untuk menyebarkan AIDS adalah berita bohong. Semakin yakin bahwa berita itu adalah berita bohong, saya pun tak tertarik untuk menyebarluaskannya ke orang lain.
Bila kita amati di sekeliling kita, perilaku bohong memang sudah bersimaharajalela. Sebagaimana pendapat Bradlee di atas bahwa bohong telah menjadi “penyakit epidemik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata epidemi berarti “penyakit menular yang berjangkit dengan cepat di daerah yang luas dan menimbulkan banyak korban.” Begitu pun berita bohong yang kian hari kian meluasdan mengganas  menjangkiti manusia dan memakan banyak korban. Ditambah lagi dengan peran teknologi yang kian memudahkan penyakit bohong itu menyebar luas. Ia seolah menemukan sarana superpower dalam diri gawai melalui sosial media. Namun sebagai manusia yang berpikir, kita sejatinya mampu mengenali pola berita bohong itu sehingga tidak dengan mudah menjadi korban.
Sebagaimana berita bohong mengenai dokter palsu yang menyebarkan penyakit AIDS melalui cek gula darah gratis di atas, dapat dilihat bahwa yang menjadi penanda pertama bahwa berita itu berita bohong adalah judul yang bombastis. Di sana tertulis  Awas Dokter Palsu”. Hal itu dilakukan pembuat berita bohong untuk menarik perhatian pembaca. Lema “awas” menandakan seolah-olah berita yang akan hadir adalah berita yang sangat penting dan perlu perhatian pembaca. Penanda kedua adalah isi berita berupa teror atau hasutan. Teror atau hasutan ini dimaksudkan untuk membuat rasa takut pada pembacanya sehingga timbul kepanikan yang berlebihan.  Rasa takut dan panik itulah yang akhirnya membuat seseorang ingin segera menyebarluaskan berita bohong. Mereka (pembaca berita bohong) seolah ingin memproteksi sahabat dan keluarganya, namun justru ikut menyebarkan berita bohong itu semakin luas.
Penanda ketiga adalah menggunakan kata-kata aktif seperti sebarkan, jangan putus di tangan Anda. Dalam kasus berita bohong di atas dapat kita lihat pula penggunaan kata-kata aktif itu, misalnya “Segera tolak dan laporkan, Segera informasikan, NB: Bantu share.” Penanda maupun pola yang terdapat dalam berita bohong (hoax) ternyata mampu dikenali. Hanya membutuhkan ketelitian dari kita sebagai penerima atau pembacanya.
Dilihat dari penanda maupun pola berita bohong yang ada, dapat diambil garis tegas bahwa dampak yang ingin ditimbulkan dengan adanyaberita bohong itu adalah kekacauan tingkat berpikir si pembaca. Mereka (pembuat berita bohong) ingin agar masyarakat menjadi bingung, panik, dan perasaan takut yang berlebihan. Bisa dibayangkan bila berita bohong disebarkan melalui media sosial yang mempunyai tingkat pemakai relatif banyak. Berita bohong itu akan dikonsumsi secara massal. Akhirnya, menimbulkan kepanikan massal pula. Bila dipandang dari sudut si pembuat berita bohong, hal itu bisa menjadi tontonan yang menyenangkan. Sebagaimana pernah dikemukakan J.A. Barnes (2005)“Bohong ibarat sebuah berkah campuran. Ini artinya, jika kita bersikeras hendak melakukannya, apakah nanti kita bisa menghentikannya?” Ya, para pembuat berita bohong bisa jadi sangat termotivasi dan merasa ketagihan ketika berita bohong yang mereka buat berhasil membuat kekacauan dan kepanikan di kehidupan masyarakat.
Lantas apa yang perlu dilakukan tatkala berita bohong itu hadir dalam kehidupan keluarga atau komunitas di sekitar kita? Ada hal-hal yang bisa dilakukan agar kita tidak mudah terhasut oleh berita bohong. Pertama, bila kita mendapatkan berita bohong melalui link URL, segera cek apakah domain yang disertakan merupakan web/domain yang terpercaya. Kedua, sebaiknya cek tanggal sumber berita. Bisa jadi berita yang dikabarkan benar, namun waktu kejadiannya sudah lama sehingga sebenarnya kasus itu sudah tidak ada pengaruhnya lagi di masa kini. Ketiga, jangan malas mengecek ulang dan mengecek silang dengan sumber berita yang lain. Di awal tulisan, saya sudah mencontohkan bagaimana langkah mengecek ulang dan mengecek  silang berita bohong itu dengan sumber berita lain yang dapat dipercaya.
Terakhir, mari kita renungkan kembali sebait puisi gubahan William James Linton yang pernah diterbitkan di Red Republican tahun 1850:Halaman The Times dibaca sang SetanDan ia pun berdehem ‘Ahem’!‘Aku bapak kebohongan’, katanya,‘Namun terkutuk aku jika menjadi bapak mereka’. Kebiasaan membaca puisi atau novel bergelimang imajinasi pun memungkinkan kita mengetahui segala jurus muslihat  untuk membuat orang ribut dan panik. Imajinasi bertemu nalar yang akan mengatasi hoax. Bernalar dan berimajinasi dengan membaca juga yang akan membuat kita teliti dan kritis untuk peredaran berita melalui berbagai saluran. Diri yang pembaca tak gampang dibohongi atau ikut menyebarkan bohong, sebelum diteliti dengan paduan nalar dan imajinasi.
#antihoax #marimas #pgrijateng





Selasa, 31 Oktober 2017

Makanan dan Sepeda Motor di Mata Siswa


Buku berjudul Nongkrong: Sketsa Kuliner dan Sepeda Motor merupakan buah karya dari siswa-siswi SMK Negeri 2 Klaten. Diterbitkan oleh Jagat Abjad Solo dan didedikasikan untuk para guru dan orang tua siswa. Buku setebal 260 halaman ini memuat segala hal berkenaan dengan aneka kuliner (makanan) yang akrab dengan para siswa. Pelajar yang mayoritas masih berusia 16-18 tahun kini telah memasuki zaman peralihan dalam bab berkuliner ria. Bila dulu kita mengenal jenis makanan gatot, klepon, thiwul, kue puthu, lemper, serta aneka makanan tradisional lainnya, kini generasi milenial ini juga mengenal makanan sejeni pizza, ramen, sushi, spagheti, hotdog, serta sejenis makanan ala luar negeri lainnya."
Simak tulisan dari Rina Pebi Dwi Hastuti yang berjudul Itu Makanan atau Apa? Ia berpendapat bahwa makanan luar negeri baginya adalah junk food, "Makanan yang berasal dari luar negeri biasa disebut junk food atau makanan cepat saji. Jadi makanan tersebut cepat dalam penyajiannya. Padahal kalau menurut saya itu nggak cepat-cepat banget dalam penyajiannya. Contoh makanan cepat saji yang saya tahu sih seperti burger, pizza, spageti, sushi, ramen, hotdog dan masih banyak lagi."
Rina lebih menyukai makanan khas Indonesia yang menurutnya bahan-bahannya lebih berkualitas. Keyakinan Rina ini membuatnya lebih mencintai makanan Indonesia daripada makanan yang bergaya luar negeri, "Jika dibandingkan, makanan Indonesia lebih enak dan lebih sehat daripada makanan yang berasal dari luar negeri. Coba bayangkan bahan-bahan yang digunakan! Bahan makanan Indonesia lebih berkualitas daripada impor bahan makanan yang berasal dari luar negeri. Kan kita tahu Indonesia merupakan salah satu penghasil bahan makanan terbaik di dunia. Walaupun terkadang makanan Indonesia kurang diminati masyarakat Indonesia sendiri. Mungkin itu karena bosen ya sama makanan Indonesia, jadi mereka mencoba makanan luar negeri. Padahal makanan Indonesia saat ini telah menembus pasar internasional. Wiiihh…keren. Bahkan saya pernah mendengar harga 1 porsi nasi goreng yang dijual di luar negeri mencapai seratus ribu rupiah. Kalau di sini mah dua puluh ribu udah dapat banyak."
Lain lagi dengan tulisan Lusiana Asrifatun. Ia menyoroti hubungan makanan dengan sosial media melalui tulisan yang berjudul Makanan dan Sosial Media. Menurutnya orang-orang yang suka mengunggah foto dirinya saat makan adalah orang-orang yang ingin ngehits atau ingin mendapat reward dari si pemilik warung atau resto, "Mengapa orang sering meng-upload? Agar mereka hits, mungkin juga untuk mempromosikan makanan tersebut."
Tegar Pratama Putra mengenang perjalanan hidupnya dengan sepeda motor tua yang diberinya nama Tedjo. Kebersamaan saat berangkat ke sekolah dengan Tedjo membuat ingatan yang sulit dilupakan Tegar. Sepeda motor tua memberinya sebuah sensasi yang tak didapatnya kala mengendarai Beat-nya, "Di perjalanan aku selalu disuguhkan motor ini pada pemandangan alam. Nyanyianku berpadu dengan suara knalpot motorku ini. Hingga akhirnya kupanggil motor ini dengan nama si Tedjo. Mungkin si Tedjo itu nama lama dan motorku itu juga lama atau tua. Di saat pagi Tedjo selalu menghadirkanku pemandangan sunrise yang indah, beda dengan motor Beat yang sudah dibelikan bapak untukku. Dengan Beat saya bisa santai berangkat lebih siang. Bila dengan si Tedjo, saya harus berangkat pagi karena kecepatan lari Tedjo hanya sampai 30-40 km/jam. Ya, sungguh lama untukku yang dari rumah hingga ke sekolah harus menempuh jarak sekitar 25 km."
Tulisan-tulisan para siswa ini memang sederhana. Cenderung lebih bersifat kenangan. Namun, bacaan ringan ini dapat menjadi penanda bahwa kehidupan telah bermetamorfosis, berkembang dan berubah. Melalui tulisan merekalah kita mampu belajar tentan kuliner dan sepeda motor kekinian.

Jumat, 19 Mei 2017

Nyantrik di Omah Petroek Bersama Sindhunata

Sabtu pagi (13/5) matahari bersinar begitu terang. Bersama Mbak Bojo dan seorang teman (Bu Eko), kami menyusuri jalan menuju Omah Petroek, Karang Kletak, Kaliurang, Pakem, Sleman. Sepanjang jalan hamparan sawah menghijau menemani kami. Saat melewati jembatan Kali Adem, beberapa Jeep ditumpangi perempuan-perempuan modis melaju di depan kami. Rupanya mereka sedang ingin berpetualang. Manusia, bagaimanapun ingin melepaskan penat-penat hidupnya dengan menguji adrenalin, sebuah tantangan. Tak berapa lama akhirnya kami sampai juga ke Omah Petroek setelah sebelumnya mampir di sebuah warung pinggir jalan untuk sarapan. 
Memasuki area Omah Petroek, cuaca dingin mulai menyerang. Dingin yang mendamaikan. Hari itu, teman-teman dari Bilik Literasi sedang mengadakan pelatihan menulis Esai Budaya atas undangan Romo Sindhunata, seorang penulis, budayawan, dosen, juga rohaniwan. Jam menunjukkan pukul 09.00 pagi saat kami sampai di sana. Teman-teman yang mengikuti pelatihan menulis Esai Budaya sudah berkumpul di bangsal Zoetmulder. Dipandu oleh Fauzi Sukri, mereka bersiap membuat tulisan terbaik berkenaan dengan tema minuman.
Ditemani oleh esai-esai lainnya (Udji, Mutim, Na'im, Mbak Setya), acara santai yang sesekali diselingi tawa dan cemilan terasa begitu hangat. Menjelang sore hari, sekitar pukul 16.30 WIB, Sindhunata datang dan mulai berbagi kisahnya. Dimulai dari sejarah pendirian Omah Petroek yang sejatinya digunakan untuk "bertahanut" agar tulisan yang dihadirkan bernas, sampai pada kisah kepenulisannya.

 Mengawali obrolan sore itu, Sindhunata berkisah tentang Omah Petroek dan beberapa sahabatnya yang pernah berkunjung. Sebut saja Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menjadi sparing partnernya dalam kepenulisan mengenai bola (sepak bola). Saat berkisah, slide presentasi pun digelar. Tampak dalam pembuka slide sebuah karikatur yang di atasnya tertulis "Siapa belum menulis, ia belum memaknai hidupnya." Kata-kata yang bagi saya pribadi terasa menghujam sekaligus menantang.
Usia yang sudah tak muda tak membuat seorang Sindhunata kemudian berhenti menulis. Walau tak seperti di kala muda, penulis yang terkenal dengan karya "Anak Bajang Menggiring Angin" ini tetap merasa gelisah bila tak menulis. Baginya setiap manusia harus gelisah. Sebab berawal dari kegelisahan manusia mampu mengubah peradaban.
Tak terasa kebersamaan dengan Sindhunata mendekati akhir. Adzan Maghrib mengharuskan kami untuk segera menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Bergantian kami menuju Langgar Tombo Ati, sebuah langgar yang didedikasikan kepada Gusdur.
Setelah menunaikan sholat Maghrib, acara dilanjutkan dengan ngobrol santai. Masih ditemani Sindhunata yang sedang sibuk menandatangani buku Ilmu Glethek Prabu Minohek, beberapa teman asyik menemaninya sambil berbincang.
Sekitar pukul 19.00WIB, Sindhunata berpamitan. Kami pun melanjutkan acara menulis (belum selesai menulis tentang minuman hehe). Tampak beberapa teman asyik menyendiri di depan laptopnya. Sesekali mereka berbincang dengan para esais untuk memperoleh kembali kata-kata yang sempat menghilang. Bincang-bincang pun kembali menghangat kala segelas kopi ikut menemani.
 Wajah serius. Wah, kurang apa lagi ya..

Asyik mojok menyelesaikan tulisan sambil ngopi
Udji memberi pencerahan hahay...

Minggu siang, saatnya berpamitan. Setelah menyelesaikan tulisan dan mengumpulkannya pada Mbak Mutim (perempuan kecil dengan kemampuan tinggi hehe), kami pun berpamitan. Namun apa yang telah kami lalui dua hari itu begitu berkesan. Berbincang bersama Sindhunata, para esais Bilik Literasi di antara rimbunnya pepohonan Omah Petroek tentu tak mudah hilang begitu saja. Dan tentu, ingatan akan sebuah pembuka dari Sindhunata akan selalu ada. Siapa belum menulis, ia belum memaknai hidupnya.