Kamis, 23 September 2021

Setelah Tujuh Belas Tahun, Disatukan dalam Cita-cita Keberagaman


Tujuh belas tahun yang lalu, saat masih kuliah di salah satu universitas di Solo, aku menginjakkan kaki pertama kali di kantor sebuah surat kabar ternama di kota itu, Solopos namanya. Aku masih ingat saat aku magang kejurnalistikan di Solopos FM. Aku diajak salah satu wartawan Solopos FM untuk meliput penghitungan suara pemilu di Stadion Manahan. 
Waktu memang menyimpan meisterinya sendiri. Siapa nyana, kini kami sering dipertemukan kembali dalam suasana penuh keakraban. Tentu saja, semua itu tak lepas dari benang merah yang telah digariskan Sang Maha Sutradara, Tuhan Yang Mahabaik. Keakraban itu kian bertambah saat di tahun 2021 Solopos Institute mengadakan program Literasi Keberagaman Melalui Jurnalisme. Sebagai salah satu sekolah yang dipilih dalam program itu, kami sering berkomunikasi dan berkolaborasi mengabarkan perkembangan jalannya program. 

Diawali dari pembuatan modul, TOT, pelatihan kepada para siswa yang terwadahi dalam ekstrakurikuler jurnalistik, sampai pada pelatihan penguatan jurnalistik untuk membangun kesadaran tentang keberagaman, kami terus bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. 
Pada hari Rabu dan Kamis (22-23/9) bertempat di Hotel Solia, kami kembali berkolaborasi. Bersama lima belas guru dari delapan sekolah yang menjadi pembina ekstrakurikuler jurnalistik, kami berdiskusi dan berlatih untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kejurnalistikan. 


Di hari pertama, diawali materi pengelolaan media sekolah yang disampaikan Mbak Rini, kami diajak untuk melihat media apa saja yang potensial untuk dikembangkan sebagai sarana penyampaian pesan perihal keberagaman. Pada sesi ini pula kami ditantang untuk membuat sebuah video pendek berkenaan dengan keberagaman. Tantangan diterima. Setelah dibagi menjadi dua kelompok, kami segera berdiskusi membuat skenario, memosisikan diri sesuai peran masing-masing, dan mulai syuting. Meski hanya berbekal gawai, tak menyurutkan semangat untuk membuat konten yang bermakna.
Sesi kedua Mbak Ayu prawitasari beraksi. Materi yang dibawakannya memang lumayan serius dan menjurus. Hee...maksudnya menjurus pada bidang jurnalistik lho ya... Di awal presentasi kami disajikan empat buah informasi. Dua informasi bersumber dari medsos, dan dua lainnya bersumber dari web Solopos. Menganalisis menjadi ruh dari materi yang dibawakan Mbak Ayu. Hmmm...lumayanlah untuk memantik daya kritis. Di sinilah kami tertantang untuk memahami lebih jauh perbedaan antara informasi yang disajikan dalam medsos dan kantor berita resmi. Tentu saja untuk masalah akurasi, informasi yang ditulis kantor berita resmi tak akan mampu disaingi oleh informasi yang ada dalam medsos. Jelas dengan sumber daya manusia yang mumpuni, kantor berita resmi lebih akurat dalam memberikan informasi. 

Mas Syifaul Arifin hadir menyajikan materi ketiga, membahas tentang bagaimana menyusun program dan materi pelatihan jurnalistik. Materi ini menyajikan hal-hal yang mesti dilakukan untuk meningkatkan kemampuan jurnalisme peserta didik. Selain itu dibahas pula teknik penulisan straight news dan feature. Selintas mendengar kata feature, aku teringat buku-buku kumpulan feature milik Sindhunata. Tulisan-tulisan itu dibukukan dan diberi judul antara lain "Burung-burung di Bundaran HI", "Ekonomi Kerbau Bingung, maupun "Sayur Lodeh Kehidupan". Tulisan-tulisan Sindhunata itu begitu menggugah. Pokoknya "wah".

Di hari kedua kami disambut materi milik Mas Ichwan Prasetyo. Judul materi yang dibawakan sungguh membuat kening mengkerut hehe. Sampai sampai aku harus mencari dua kata yang masih asing di KBBI daring. Satu kata ada dalam kamus (deontologi), tetapi satu kata lagi ternyata belum masuk dalam KBBI daring (resiliensi). Mungkin karena jarang digunakan, kata resiliensi belum mendapat tempat di KBBI. Maklum, jarang disebut jadi belum masuk ke hati hehe... Gaya Mas Ichwan yang los saat presentasi mengingatkanku pada masa ketika masih menjadi mahasiswa, orasi he.. Mengkritisi media sosial menjadi ruh di materi yang dibawakan Mas Ichwan. Beberapa buku pun menjadi acuan dalam sesi ini. Salah satu buku itu adalah karya Agus Sudibyo yang berjudul "Jagat Digital: Pembebasan dan Penguasaan". Kode etik jurnalistik dan elemen-elemen jurnalistik juga menjadi pembahasan di sesi ini. Sebagai pembina jurnalistik, kode etik dan elemen jurnalistik mesti menjadi patokan dalam segala aktivitas kejurnalistikan. 

Selepas Mas Ichwan beraksi, kembali Mbak Ayu berbagi nutrisi kejurnalistikan. Kali ini materi yang dibawakan adalah merancang media sekolah untuk isu keberagaman. Kembali sebuah berita disajikan. Berita itu tentang kerukunan umat beragama di sebuat desa di Klaten Utara. Di sesi inilah praktik rapat redaksi diadakan. Masalah-masalah berkenaan keberagaman menjadi isu yang didiskusikan untuk mengisi berita/informasi yang hendak disampaikan. Mengambil tema besar "Sekolah Damai", beberapa redaktur dengan penuh semangat berdiskusi dan melakukan presentasi. 


Hari kedua ditutup oleh Mas Diqy yang membawakan materi evaluasi penerbitan media sekolah. Di sesi ini kami diajak untuk mengevaluasi tujuan diadakannya media sekolah. Selain itu, beberapa media sekolah hasil karya jurnalistik peserta didik di beberapa sekolah juga ditampilkan. Dari materi ini pula terlihat perbedaan yang mencolok antara karya jurnalistik anak SMA dengan SMK. Hmmm...apa ya perbedaannya... Hehe, rahasia ya. Takutnya jadi labeling :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar