Minggu, 07 Agustus 2016

Membincangkan HORISON (Versi Cetak) yang Tenggelam di Ufuk Barat

Malam mulai turun, ketika motor yang kupacu memasuki parkiran Balai Soedjatmoko. Balai di tengah Kota Solo yang ramai. Solo yang mulai padat dan panas. Pukul 19.00 WIB acara yang ditunggu pun dibuka. Acara yang membincangkan majalah sastra ternama di Indonesia, HORISON. Majalah yang telah malang melintang di percaturan sastra Indonesia selama 50 Tahun itu akhirnya mengumumkan diri TAMAT! Mundur dari hiruk pikuk kesastraan Indonesia. Acara bincang-bincang berlangsung cukup santai. Di moderatori oleh Mbak Indah Darmastuti, dengan menghadirkan pembicara Bandung Mawardi yang mengelola Jagad Abjad dan Bilik Literasi Solo, serta Dewan Redaksi HORISON, Joni Ariadinata, mampu membuat bincang-bincang mengalir bernas. Joni dalam bincang-bincangnya sempat bertutur bahwa kehadiran ruang sastra di koran maupun majalah selain HORISON memang menggembirakan. Namun di sisi lain, hal itulah yang sedikit membuat majalah HORISON terpinggirkan hingga limbung menghadapi persaingan. Hanya idealismelah yang selama ini membuat HORISON tetap bertahan. Pada masa Kementerian Pendidikan yang digawangi Wardiman, HORISON mengalami masa yang cukup menggembirakan. HORISON mampu masuk ke sekolah-sekolah di seluruh pelosok Indonesia. Itulah masa keemasan HORISON.



Masa Indah itu kini telah berlalu. HORISON telan memantapkan tekad untuk menyudahi kiprahnya di dunia kesastraan Indonesia. Mengenang HORISON pun dirinci oleh Bandung dengan menggelar HORISON dari edisi perdana. Menurutnya HORISON telah ikut melahirkan sastrawa budayawan hebat di negeri ini, salah satunya adalah Emha Ainun Najib. Kelakar pun keluar dari Bandung yang terkenal nyleneh ini ketika menanggapi pemerintah sekarang (Jokowi) yang tidak turut mengasuh HORISON, bahwa Jokowi tak mau nanti bertengkar dengan anaknya yang bisnis ceker.

Bagaimanapun kini HORISON telah tamat. Menutup kiprahnya yang telah berusia 50 tahun. Kini, kita tak akan pernah lagi melihat Kaki Langit yang menjadi wahana anak-anak sekolah menyemai kepercayaan diri. 

Kita juga tak kan pernah lagi menemukan tulisan-tulisan Taufiq Ismail yang padat dan berisi hadir di pelupuk mata. Tulisan-tulisan yang mampu memberikan pencerahan dan perenungan di saat bangsa membutuhkan kepekaan dan kejelasan.


Karya anak bangsa yang merajut asa untuk masa depannya di bidang tulis menulis sastra pun tamat sudah. Betapa gembiranya kita tatkala melihat anak didik kita wajahnya sumringah ketika membaca tulisan (puisi maupun cerpennya) hadir lembaran majalah HORISON. Tak kan kita lihat lagi kisah mereka bercerita pada sahabat, orang tua, guru, dan orang terkasih mereka tentang karya mereka yang termuat. 


Entah tangis atau senyum bahagia ketika Majalah HORISON edisi terakhir yang cukup tebal itu hadir di tangan. Mengenang 50 tahun, setengah abad yang bercampur aduk. Gerimis pun turun ketika kupacu motor untuk pulang kembali ke rumah. Gerimis yang seolah tahu bahwa sejarah kesastraan di Indonesia telah berubah. Zaman merekam bahwa HORISON telah tenggelam di ufuk barat. Hilang dan mungkin kelak terlupakan. Selamat beristirahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar