Jumat, 19 Mei 2017

Nyantrik di Omah Petroek Bersama Sindhunata

Sabtu pagi (13/5) matahari bersinar begitu terang. Bersama Mbak Bojo dan seorang teman (Bu Eko), kami menyusuri jalan menuju Omah Petroek, Karang Kletak, Kaliurang, Pakem, Sleman. Sepanjang jalan hamparan sawah menghijau menemani kami. Saat melewati jembatan Kali Adem, beberapa Jeep ditumpangi perempuan-perempuan modis melaju di depan kami. Rupanya mereka sedang ingin berpetualang. Manusia, bagaimanapun ingin melepaskan penat-penat hidupnya dengan menguji adrenalin, sebuah tantangan. Tak berapa lama akhirnya kami sampai juga ke Omah Petroek setelah sebelumnya mampir di sebuah warung pinggir jalan untuk sarapan. 
Memasuki area Omah Petroek, cuaca dingin mulai menyerang. Dingin yang mendamaikan. Hari itu, teman-teman dari Bilik Literasi sedang mengadakan pelatihan menulis Esai Budaya atas undangan Romo Sindhunata, seorang penulis, budayawan, dosen, juga rohaniwan. Jam menunjukkan pukul 09.00 pagi saat kami sampai di sana. Teman-teman yang mengikuti pelatihan menulis Esai Budaya sudah berkumpul di bangsal Zoetmulder. Dipandu oleh Fauzi Sukri, mereka bersiap membuat tulisan terbaik berkenaan dengan tema minuman.
Ditemani oleh esai-esai lainnya (Udji, Mutim, Na'im, Mbak Setya), acara santai yang sesekali diselingi tawa dan cemilan terasa begitu hangat. Menjelang sore hari, sekitar pukul 16.30 WIB, Sindhunata datang dan mulai berbagi kisahnya. Dimulai dari sejarah pendirian Omah Petroek yang sejatinya digunakan untuk "bertahanut" agar tulisan yang dihadirkan bernas, sampai pada kisah kepenulisannya.

 Mengawali obrolan sore itu, Sindhunata berkisah tentang Omah Petroek dan beberapa sahabatnya yang pernah berkunjung. Sebut saja Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menjadi sparing partnernya dalam kepenulisan mengenai bola (sepak bola). Saat berkisah, slide presentasi pun digelar. Tampak dalam pembuka slide sebuah karikatur yang di atasnya tertulis "Siapa belum menulis, ia belum memaknai hidupnya." Kata-kata yang bagi saya pribadi terasa menghujam sekaligus menantang.
Usia yang sudah tak muda tak membuat seorang Sindhunata kemudian berhenti menulis. Walau tak seperti di kala muda, penulis yang terkenal dengan karya "Anak Bajang Menggiring Angin" ini tetap merasa gelisah bila tak menulis. Baginya setiap manusia harus gelisah. Sebab berawal dari kegelisahan manusia mampu mengubah peradaban.
Tak terasa kebersamaan dengan Sindhunata mendekati akhir. Adzan Maghrib mengharuskan kami untuk segera menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Bergantian kami menuju Langgar Tombo Ati, sebuah langgar yang didedikasikan kepada Gusdur.
Setelah menunaikan sholat Maghrib, acara dilanjutkan dengan ngobrol santai. Masih ditemani Sindhunata yang sedang sibuk menandatangani buku Ilmu Glethek Prabu Minohek, beberapa teman asyik menemaninya sambil berbincang.
Sekitar pukul 19.00WIB, Sindhunata berpamitan. Kami pun melanjutkan acara menulis (belum selesai menulis tentang minuman hehe). Tampak beberapa teman asyik menyendiri di depan laptopnya. Sesekali mereka berbincang dengan para esais untuk memperoleh kembali kata-kata yang sempat menghilang. Bincang-bincang pun kembali menghangat kala segelas kopi ikut menemani.
 Wajah serius. Wah, kurang apa lagi ya..

Asyik mojok menyelesaikan tulisan sambil ngopi
Udji memberi pencerahan hahay...

Minggu siang, saatnya berpamitan. Setelah menyelesaikan tulisan dan mengumpulkannya pada Mbak Mutim (perempuan kecil dengan kemampuan tinggi hehe), kami pun berpamitan. Namun apa yang telah kami lalui dua hari itu begitu berkesan. Berbincang bersama Sindhunata, para esais Bilik Literasi di antara rimbunnya pepohonan Omah Petroek tentu tak mudah hilang begitu saja. Dan tentu, ingatan akan sebuah pembuka dari Sindhunata akan selalu ada. Siapa belum menulis, ia belum memaknai hidupnya.