RODA PEDATI
Siang itu begitu teriknya. Di
sebuah kampung yang terasa sepi, kering, merangas, debu-debu berterbangan
seolah mencari sasaran untuk hinggap. Sebuah wajah tua tengah sibuk
mengumpulkan jerami untuk dinaikkan di atas roda pedati. Sapi yang sepertinya
kurang terurus, kurus, sedang menanti dengan sabar sang majikan.
“Kusno, nanti kalau sudah
selesai, tolong dibantu ya... Ndoro kakung mau jalan-jalan melihat-lihat
sawahnya,” ucap Ndoro Putri, yang usianya kira-kira sudah 65 tahun itu. “Baik
Ndoro Putri.” Pak Kusno menjawab sambil membungkukkan badannya.
Ndoro Kakung Harjoprawiro adalah seorang
juragan yang sangat kaya. Sawahnya saja ada dimana-mana. Ternaknya, dari sapi,
kerbau, kuda, dan burung piaraan semuannya terurus dengan rapi. Semua itu tak
lebih dari jasa Pak Kusno, seorang penarik pedati yang sudah berumur sekitar 70
tahun, hampir sama dengan usia Ndoro Kakung. Pak Kusno telah mengabdi hampir 30
tahun di keluarga itu.
Ndoro Kakung Harjoprawiro
walaupun kaya raya, namun ia tidak sempat menikmati hasil jerih payahnya. Ia
terserang stroke, sehingga untuk berjalan saja ia harus dibantu. Ia hanya dapat
menggerakkan tangan kanannya. Sehari-hari, Pak Kusno lah orang yang paling
setia menemaninya. Sedangkan Ndoro Putri, sibuk dengan acara ibu-ibu yang
sangat jelimet dan ruwet, serta terkesan diada-adakan. Acara yang dibuat untuk
kedok disaat mereka ingin ngerumpi, membicarakan kejelekan, dan ngrasani orang lain.
Pak Kusno, laki-laki yang
tubuhnya tak setua usianya. Di usia 70 tahun, tubuhnya masih kelihatan sangat
kekar, walaupun terlihat goresan penderitaan di sela-sela sembulan
otot-ototnya. Pribadinya yang santun, jujur, tanggap dan bertanggung jawab
terhadap tugasnya secara diam-diam telah dicium oleh Ndoro Kakung Harjoprawiro.
Setelah menyelesaikan tugas
merapikan jerami, Pak Kusno bergegas mengambil dokar yang terparkir di dekat
kandang kuda di samping rumah. Segera ia menggendong Ndoro Kakung Harjoprawiro
dan didudukkannya di dekat kendali kekang kudanya. Ndoro Kakung memang sudah
tidak dapat bicara, tetapi otak dan pikirannya masih terlatih untuk berpikir
secara sehat. Ia terserang stroke, lain dan tak bukan adalah karena perilaku
Ndoro Putri yang suka obral harta dan obral omongan ke sana-sini. Tak hanya
itu, perilaku kedua anaknya, Suparno dan Parti juga sangat menekan jiwanya.
Suparno, anak laki-laki pertamanya, yang ia gadang-gadang untuk dapat
meneruskan dinastinya ternyata tak lebih seperti benalu beracun dalam
dagingnya. Perilakunya sungguh membuat malu keluarga. Ia sering gonta-ganti
pasangan entah dengan gadis-gadis tetangganya sendiri ataupun dengan
gadis-gadis yang tak jelas juntrungannya
dari mana, yang nyata ia sering dilabeli play
boy kampung. Dan kini Suparno entah kemana, Ndoro Kakung pun tak mau tahu.
Sedangkan Parti, yang sejatinya tak begitu cantik, karena tidak puas atas
pemberian nama dari orang tuanya yang terkesan ndeso, ia mengubah namanya menjadi Elizabeth. Entah karena
tergila-gila dengan nama ratu Inggris atau karena alasan lain, dan yang pasti
ia kini hidup bak artis-artis ibu kota, dugem di diskotik sampai pagi.
Seolah-olah tak pernah mengenal orang tuanya lagi, apalagi Tuhannya.
Aktivitasnya seperti hewan malam. Pagi tidur, malam keluyuran.
Hari menjelang sore tatkala Pak
Kusno dan Ndoro Kakung mulai berputar-putar untuk melihat sawah-sawahnya.
“Sepertinya tanaman padi yang
dekat dengan kali itu sudah siap untuk dipanen Ndoro,” tiba-tiba Pak Kusno
membuka pembicaraan.
“Sudah menguning dan terlihat
begitu sehat,” lanjut Pak Kusno sambil menarik tali kekang kuda. Walaupun
sebenarnya ia tahu Ndoro Kakung tak dapat menjawab, namun tetap dilakukannya
untuk mencairkan suasana yang hening. Ia yakin Ndoro Kakung tetap mengerti.
Ndoro Kakung sejenak menoleh ke
sawah yang dimaksud Pak Kusno, kemudian ia sedikit mengangguk tanda mengerti.
Menjelang maghrib, laju dokar diarahkannya menuju rumah Ndoro Kakung. Ternyata
rumah itu masih sepi. Ndoro Putri ternyata belum pulang. Pelan-pelan
diangkatnya tubuh Ndoro Kakung dan didudukkannya di kursi santai di depan
rumah, kemudian ia beranjak untuk menghidupkan lampu di dalam rumah.
Beberapa saat kemudian Ndoro
Putri datang dengan membawa bingkisan dan barang belanjaan oleh-oleh dari hasil
kumpulan dengan ibu-ibu yang sok sibuk di zaman sekarang.
“Noo...Kusnoo..., kamu ini gimana
tho, sudah sore begini kok Ndoro kakung masih diangin-anginkan. Nanti kalau
masuk angin gimana coba, yang repot kan aku juga. Ayo dibawa masuk ke kamar
sana.” Ucap Ndoro Putri saat mengetahui Ndoro kakung masih duduk bersandar di
kursi depan.
“Baik Ndoro Putri...” jawab Pak
Kusno sambil bergegas menggendong Ndoro Kakung menuju kamar.
Malam itu begitu dingin. Biasa,
bila kemarau tiba justru di malam hari suhu udara terasa begitu terasa menusuk
tulang. Malam itu Pak Kusno menginap di rumah majikannya. “Entahlah, malam ini
terasa akan ada hal yang luar biasa terjadi di rumah ini,” bisik hati Pak
Kusno.
Tepat tengah malam pintu
digedor-gedor oleh seseorang.
“Buka pintu....ayo cepat buka
pintu...” teriak seseorang di luar rumah.
Pak Kusno bergegas berangsut dari
dipan, bergegas ia berlari menuju pintu rumah. Dalam hatinya ia berpikir, ada
apa malam-malam bertamu tanpa punya rasa sopan santun sedikitpun, apakah ini
yang dinamakan zaman modern yang sudah tidak mempunyai tepo sliro, unggah ungguh,
ataupun sopan santun. Manusia semakin lama semakin tak peduli dengan aturan dan
seenaknya saja.
Dengan bergegas ia membuka daun
pintu. Sreeek...., agak kaget Pak
Kusno melihat seseorang yang di balik pintu. Juragan Sapto, ya seorang yang
terpandang di kampung ini, ada apa malam-malam begini datang menggedor-gedor
pintu bagai orang yang sedang dirasuki setan, pikirnya.
“Mana...mana itu yang namanya
Parno! Manusia tengik yang berani membawa kabur putriku. Suruh keluar, biar
kuhajar sampai mampus!” bentak Juragan Sapto. Suaranya menggelegar bagai petir
yang ingin menelan hidup-hidup siapa pun yang ada di hadapannya.
Ndoro Putri yang sejatinya sejak
dari tadi tahu ada seseorang yang menggedor-gedor pintu hanya berani mengintip
dari balik pintu kamar. Untunglah malam ini Pak Kusno bermalam di sini, kalau
tidak apa jadinya aku, begitu pikirnya.
“Maaf Juragan, Den Parno sudah dua
minggu ini tidak pulang. Di mana rimbanya, keluarga ini juga tidak tahu
Juragan,” sahut Pak Kusno dengan sikap siap siaga bila sewaktu-waktu Juragan
Sapto bertindak sesuatu yang di luar nalar.
Dari dalam kamar Ndoro putri
semakin kecut hatinya. Wajahnya pucat pasi, seluruh darahnya seolah berhenti.
Ndoro Kakung yang sejak dari tadi terbaring di tempat tidur sejatinya mendengar
dengan seksama segala percakapan dan kejadian di ruang tamu rumahnya itu.
Perlahan ia gerakkan tangan kanannya, entah apa yang akan dilakukannya.
“Puih....bangsat, tengik, manusia
nggak tahu diuntung. Begini ya cara keluarga ini mendidik anaknya, kemana-mana
hanya bisa membuat pusing orang lain. Awas nanti kalau dia pulang, jangan harap
masih bisa berlagak sok ganteng!” sergah Juragan Sapto dengan wajah merah padam menahan amarah, membanting pintu, dan
pergi ditelan gelapnya malam dengan membawa segala sumpah serapahnya.
Merasa ancaman sudah pergi,
bergegas Ndoro Putri menghampiri pak Kusno yang masih berdiri di dekat pintu.
“Aduuuh...apalagi sih yang
dilakukan Si Parno, sampai-sampai juragan Sapto marahnya luar biasa begitu,”
ucap Ndoro Putri sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Siapa yang nggak marah Ndoro,
kalau putri satu-satunya dibawa pergi orang lain dan nggak jelas sekarang ada
di mana?” jawab Pak Kusno sambil memandang wajah Ndoro Putri yang masih pucat.
“Ndoro Kakung bagaimana Ndoro
Putri? Saya khawatir kalau kejadian tadi membuat Ndoro Kakung....” tanpa
dikomando mereka berdua segera berlari menuju kamar tidur Ndoro Kakung.
Sekilas tampak Ndoro Kakung masih
tertidur lelap. Pak Kusno menghampiri dan duduk di samping Ndoro Kakung yang
tengah terbaring. Tak ada nafas, tak ada detak jantung, tubuhnya pun sudah
dingin. Ndoro Kakung ternyata telah berpulang. Ndoro putri yang sedari tadi
berdiri di samping Pak Kusno kini menangis sesengukan. Dilihatnya di samping
Ndoro Kakung ada secarik kertas yang terlipat rapi. Pelan-pelan Ndoro Putri
mengambil kertas itu kemudian membacanya, tertulis dengan cukup jelas di kertas
itu:
SEMUA KEKAYAANKU DARI PERTANIAN,
RUMAH, DAN PETERNAKAN AKU WARISKAN SEMUANYA KEPADA KUSNO
Demi membaca kalimat itu Ndoro
putri pun akhirnya pingsan. Kini tinggal Pak Kusno yang bingung. Bingung dengan
segala kejadian malam itu.
Hidup memang misteri, tak akan
ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Seperti lakon hidup Pak
Kusno malam itu. Ya, hidup memang bagai roda pedati, kadang di bawah kadang di
atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar