Sabtu, 01 Oktober 2011

Cerpenku



RODA PEDATI
Siang itu begitu teriknya. Di sebuah kampung yang terasa sepi, kering, merangas, debu-debu berterbangan seolah mencari sasaran untuk hinggap. Sebuah wajah tua tengah sibuk mengumpulkan jerami untuk dinaikkan di atas roda pedati. Sapi yang sepertinya kurang terurus, kurus, sedang menanti dengan sabar sang majikan.
“Kusno, nanti kalau sudah selesai, tolong dibantu ya... Ndoro kakung mau jalan-jalan melihat-lihat sawahnya,” ucap Ndoro Putri, yang usianya kira-kira sudah 65 tahun itu. “Baik Ndoro Putri.” Pak Kusno menjawab sambil membungkukkan badannya.
 Ndoro Kakung Harjoprawiro adalah seorang juragan yang sangat kaya. Sawahnya saja ada dimana-mana. Ternaknya, dari sapi, kerbau, kuda, dan burung piaraan semuannya terurus dengan rapi. Semua itu tak lebih dari jasa Pak Kusno, seorang penarik pedati yang sudah berumur sekitar 70 tahun, hampir sama dengan usia Ndoro Kakung. Pak Kusno telah mengabdi hampir 30 tahun di keluarga itu.
Ndoro Kakung Harjoprawiro walaupun kaya raya, namun ia tidak sempat menikmati hasil jerih payahnya. Ia terserang stroke, sehingga untuk berjalan saja ia harus dibantu. Ia hanya dapat menggerakkan tangan kanannya. Sehari-hari, Pak Kusno lah orang yang paling setia menemaninya. Sedangkan Ndoro Putri, sibuk dengan acara ibu-ibu yang sangat jelimet dan ruwet, serta terkesan diada-adakan. Acara yang dibuat untuk kedok disaat mereka ingin ngerumpi, membicarakan kejelekan, dan ngrasani orang lain.
Pak Kusno, laki-laki yang tubuhnya tak setua usianya. Di usia 70 tahun, tubuhnya masih kelihatan sangat kekar, walaupun terlihat goresan penderitaan di sela-sela sembulan otot-ototnya. Pribadinya yang santun, jujur, tanggap dan bertanggung jawab terhadap tugasnya secara diam-diam telah dicium oleh Ndoro Kakung Harjoprawiro.
Setelah menyelesaikan tugas merapikan jerami, Pak Kusno bergegas mengambil dokar yang terparkir di dekat kandang kuda di samping rumah. Segera ia menggendong Ndoro Kakung Harjoprawiro dan didudukkannya di dekat kendali kekang kudanya. Ndoro Kakung memang sudah tidak dapat bicara, tetapi otak dan pikirannya masih terlatih untuk berpikir secara sehat. Ia terserang stroke, lain dan tak bukan adalah karena perilaku Ndoro Putri yang suka obral harta dan obral omongan ke sana-sini. Tak hanya itu, perilaku kedua anaknya, Suparno dan Parti juga sangat menekan jiwanya. Suparno, anak laki-laki pertamanya, yang ia gadang-gadang untuk dapat meneruskan dinastinya ternyata tak lebih seperti benalu beracun dalam dagingnya. Perilakunya sungguh membuat malu keluarga. Ia sering gonta-ganti pasangan entah dengan gadis-gadis tetangganya sendiri ataupun dengan gadis-gadis yang tak jelas juntrungannya dari mana, yang nyata ia sering dilabeli play boy kampung. Dan kini Suparno entah kemana, Ndoro Kakung pun tak mau tahu. Sedangkan Parti, yang sejatinya tak begitu cantik, karena tidak puas atas pemberian nama dari orang tuanya yang terkesan ndeso, ia mengubah namanya menjadi Elizabeth. Entah karena tergila-gila dengan nama ratu Inggris atau karena alasan lain, dan yang pasti ia kini hidup bak artis-artis ibu kota, dugem di diskotik sampai pagi. Seolah-olah tak pernah mengenal orang tuanya lagi, apalagi Tuhannya. Aktivitasnya seperti hewan malam. Pagi tidur, malam keluyuran.
Hari menjelang sore tatkala Pak Kusno dan Ndoro Kakung mulai berputar-putar untuk melihat sawah-sawahnya.
“Sepertinya tanaman padi yang dekat dengan kali itu sudah siap untuk dipanen Ndoro,” tiba-tiba Pak Kusno membuka pembicaraan.  
“Sudah menguning dan terlihat begitu sehat,” lanjut Pak Kusno sambil menarik tali kekang kuda. Walaupun sebenarnya ia tahu Ndoro Kakung tak dapat menjawab, namun tetap dilakukannya untuk mencairkan suasana yang hening. Ia yakin Ndoro Kakung tetap mengerti.
Ndoro Kakung sejenak menoleh ke sawah yang dimaksud Pak Kusno, kemudian ia sedikit mengangguk tanda mengerti. Menjelang maghrib, laju dokar diarahkannya menuju rumah Ndoro Kakung. Ternyata rumah itu masih sepi. Ndoro Putri ternyata belum pulang. Pelan-pelan diangkatnya tubuh Ndoro Kakung dan didudukkannya di kursi santai di depan rumah, kemudian ia beranjak untuk menghidupkan lampu di dalam rumah.
Beberapa saat kemudian Ndoro Putri datang dengan membawa bingkisan dan barang belanjaan oleh-oleh dari hasil kumpulan dengan ibu-ibu yang sok sibuk di zaman sekarang.
“Noo...Kusnoo..., kamu ini gimana tho, sudah sore begini kok Ndoro kakung masih diangin-anginkan. Nanti kalau masuk angin gimana coba, yang repot kan aku juga. Ayo dibawa masuk ke kamar sana.” Ucap Ndoro Putri saat mengetahui Ndoro kakung masih duduk bersandar di kursi depan.
“Baik Ndoro Putri...” jawab Pak Kusno sambil bergegas menggendong Ndoro Kakung menuju kamar.
Malam itu begitu dingin. Biasa, bila kemarau tiba justru di malam hari suhu udara terasa begitu terasa menusuk tulang. Malam itu Pak Kusno menginap di rumah majikannya. “Entahlah, malam ini terasa akan ada hal yang luar biasa terjadi di rumah ini,” bisik hati Pak Kusno.
Tepat tengah malam pintu digedor-gedor oleh seseorang.
“Buka pintu....ayo cepat buka pintu...” teriak seseorang di luar rumah.
Pak Kusno bergegas berangsut dari dipan, bergegas ia berlari menuju pintu rumah. Dalam hatinya ia berpikir, ada apa malam-malam bertamu tanpa punya rasa sopan santun sedikitpun, apakah ini yang dinamakan zaman modern yang sudah tidak mempunyai tepo sliro, unggah ungguh, ataupun sopan santun. Manusia semakin lama semakin tak peduli dengan aturan dan seenaknya saja.
Dengan bergegas ia membuka daun pintu. Sreeek...., agak kaget Pak Kusno melihat seseorang yang di balik pintu. Juragan Sapto, ya seorang yang terpandang di kampung ini, ada apa malam-malam begini datang menggedor-gedor pintu bagai orang yang sedang dirasuki setan, pikirnya.
“Mana...mana itu yang namanya Parno! Manusia tengik yang berani membawa kabur putriku. Suruh keluar, biar kuhajar sampai mampus!” bentak Juragan Sapto. Suaranya menggelegar bagai petir yang ingin menelan hidup-hidup siapa pun yang ada di hadapannya.
Ndoro Putri yang sejatinya sejak dari tadi tahu ada seseorang yang menggedor-gedor pintu hanya berani mengintip dari balik pintu kamar. Untunglah malam ini Pak Kusno bermalam di sini, kalau tidak apa jadinya aku, begitu pikirnya.
“Maaf Juragan, Den Parno sudah dua minggu ini tidak pulang. Di mana rimbanya, keluarga ini juga tidak tahu Juragan,” sahut Pak Kusno dengan sikap siap siaga bila sewaktu-waktu Juragan Sapto bertindak sesuatu yang di luar nalar.
Dari dalam kamar Ndoro putri semakin kecut hatinya. Wajahnya pucat pasi, seluruh darahnya seolah berhenti. Ndoro Kakung yang sejak dari tadi terbaring di tempat tidur sejatinya mendengar dengan seksama segala percakapan dan kejadian di ruang tamu rumahnya itu. Perlahan ia gerakkan tangan kanannya, entah apa yang akan dilakukannya.
“Puih....bangsat, tengik, manusia nggak tahu diuntung. Begini ya cara keluarga ini mendidik anaknya, kemana-mana hanya bisa membuat pusing orang lain. Awas nanti kalau dia pulang, jangan harap masih bisa berlagak sok ganteng!” sergah Juragan Sapto dengan wajah merah  padam menahan amarah, membanting pintu, dan pergi ditelan gelapnya malam dengan membawa segala sumpah serapahnya.
Merasa ancaman sudah pergi, bergegas Ndoro Putri menghampiri pak Kusno yang masih berdiri di dekat pintu.
“Aduuuh...apalagi sih yang dilakukan Si Parno, sampai-sampai juragan Sapto marahnya luar biasa begitu,” ucap Ndoro Putri sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Siapa yang nggak marah Ndoro, kalau putri satu-satunya dibawa pergi orang lain dan nggak jelas sekarang ada di mana?” jawab Pak Kusno sambil memandang wajah Ndoro Putri yang masih pucat.
“Ndoro Kakung bagaimana Ndoro Putri? Saya khawatir kalau kejadian tadi membuat Ndoro Kakung....” tanpa dikomando mereka berdua segera berlari menuju kamar tidur Ndoro Kakung.
Sekilas tampak Ndoro Kakung masih tertidur lelap. Pak Kusno menghampiri dan duduk di samping Ndoro Kakung yang tengah terbaring. Tak ada nafas, tak ada detak jantung, tubuhnya pun sudah dingin. Ndoro Kakung ternyata telah berpulang. Ndoro putri yang sedari tadi berdiri di samping Pak Kusno kini menangis sesengukan. Dilihatnya di samping Ndoro Kakung ada secarik kertas yang terlipat rapi. Pelan-pelan Ndoro Putri mengambil kertas itu kemudian membacanya, tertulis dengan cukup jelas di kertas itu:
SEMUA KEKAYAANKU DARI PERTANIAN, RUMAH, DAN PETERNAKAN AKU WARISKAN SEMUANYA KEPADA KUSNO
Demi membaca kalimat itu Ndoro putri pun akhirnya pingsan. Kini tinggal Pak Kusno yang bingung. Bingung dengan segala kejadian malam itu.
Hidup memang misteri, tak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Seperti lakon hidup Pak Kusno malam itu. Ya, hidup memang bagai roda pedati, kadang di bawah kadang di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar